Minggu, 28 November 2010
LIPI Menghasilkan Sengon Transgenik Pertama di Dunia
Fasilitas Uji Terbatas Pusat Penelitian Bioteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menghasilkan tanaman sengon (Albazia Falcataria) transgenik pertama di dunia. “Insersi gen xyloglucanase telah berhasil dilakukan ke dalam tanaman sengon,” kata pakar bioteknologi Dr. Enny Sudarmonowati seusai dikukuhkan LIPI menjadi Profesor Riset di Jakarta, 21 Mei 2010.
Tanaman sengon transgenik yang mengandung gen xyloglucanase terbukti tumbuh lebih cepat dan mengandung selulosa lebih tinggi daripada tanaman kontrol. Tanaman ini berpotensi tumbuh lebih cepat saat dipindah ke lapangan. Kayu sengon bernilai ekonomis yang digunakan untuk tiang bangunan rumah, papan peti kemas, perabotan rumah tangga, pagar, hingga pulp dan kertas. Akar tunggangnya yang kuat, sehingga baik ditanam di tepi kawasan yang mudah terkena erosi dan menjadi salah satu kebijakan pemerintah (Sengonisasi) di sekitar daerah aliran sungai (DAS).
Dengan insersi gen tersebut tanaman sengon ini juga lebih mudah dihidrolisis dan menghasilkan ethanol lebih tinggi. “Gen yang telah dikloning dari sengon, yaitu sucrose synthase dan gen penyandi lignin 4-CL akan ditransformasikan lebih lanjut,” katanya. Indonesia, ujarnya, sangat ketinggalan dalam penelitian transgenik di sektor kehutanan, bahkan sampai sekarang belum ada yang diujikan ke lapangan terbatas, dari tahap sebelumnya diuji di laboratorium dan diuji di FUT.
Ia juga memaparkan, hasil penelitian rekayasa genetika tanaman kini semakin banyak dimanfaatkan, dimana pada 2009 jumlah negara yang sudah menanam tanaman transgenik secara komersial ada 25 negara dengan luas 800 juta hektar. “Untuk saat ini masih didominasi tanaman pertanian seperti jagung, kedelai dan kapas, dengan gen pembawa sifat ketahanan terhadap serangga dan herbisida, dengan negara yang paling banyak mengembangkan transgenik adalah Amerika Serikat,” katanya.
Selain cocok untuk tanaman industri, sengon transgenik pas ditanam di tepi kawasan yang mudah terkena erosi atau daerah aliran sungai. Keistimewaan lainnya, sengon transgenik mudah dihidrolisis. Artinya, kandungan selulosa dalam sengon transgenik mampu menghasilkan bioetanol. "Selulosa bisa dikonversi menjadi gula, kemudian etanol," kata Enny. Bioetanol berfungsi sebagai bahan bakar alternatif masa depan.
Agus Imam, penggiat industri kehutanan di Gresik, menyambut baik kehadiran sengon transgenik. "Yang penting aman dan tidak berpengaruh terhadap ekosistem," katanya. Jawaban laki-laki 35 tahun itu memang beralasan. Hingga kini, kehadiran teknologi transgenik masih menuai pro-kontra. Sebagian kalangan masih menganggap tanaman transgenik punya potensi besar merusak lingkungan. Hal tersebut berkaitan dengan keberadaan gen asing di dalam tubuh tanaman yang berpotensi mengubah ekologi. Misalnya matinya serangga bukan hama dan meningkatnya ketahanan gulma terhadap herbisida.
Di sisi lain, banyak yang berpendapat rekayasa genetik berdampak positif. Alasannya, selain menguntungkan, transgenik mampu menekan penggunaan produk pestisida sebagai polutan dan racun terhadap lingkungan. Enny dan Sri pun berpendapat senada. "Tidak perlu khawatir, gen-gen yang dialihekspresikan aman," ujar Sri.
Tren penelitian rekayasa genetik tanaman di dunia memang menunjukkan kenaikan. Pada 2009, tercatat 25 negara sudah menanam tanaman transgenik secara komersial. Mayoritas didominasi tanaman pertanian, seperti jagung, kedelai, dan kapas, dengan gen pembawa sifat ketahanan terhadap serangga dan herbisida. Sengon bongsor ini masih diuji coba terbatas di rumah kaca. "Tinggal menempuh penelitian kestabilan gennya," kata Enny.
Sumber : Kaskus.us
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
In enzymology, a xyloglucan-specific endo-beta-1,4-glucanase (EC 3.2.1.151) is an enzyme that catalyzes the chemical reaction: xyloglucan + H2O rightleftharpoons xyloglucan oligosaccharides. Thus, the two substrates of this enzyme are xyloglucan and H2O, whereas its product is xyloglucan oligosaccharides. Xyloglucanase
BalasHapus